Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengumpulkan alat bukti terkait dengan dugaan perintangan penyidikan dalam penanganan kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024 pergantian antarwaktu (PAW), dengan tersangka Harun Masiku.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto menjelaskan, penyidik membuka kemungkinan untuk menerapkan pasal 21 Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tentang perintangan penyidikan (obstruction of justice) pada kasus tersebut.
Kemungkinan itu mengemuka usai penyidik memeriksa saksi Dona Berisa, Kamis (18/7/2024), yang merupakan istri dari terpidana kasus sebelumnya yaitu Saeful Bahri. Sebagai informasi, Saeful terbukti bersama dengan Harun, yang merupakan mantan caleg PDIP 2019-2024, memberikan suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan melalui perantara Agustiani Tio Fredelina.
"Namun, detailnya seperti apa, upayanya seperti apa, siapa yang diduga mungkin ada keterlibatan di situ, masih sementara dikumpulkan alat buktinya," terang Tessa kepada wartawan, Jumat (19/7/2024).
Tessa tidak memerinci lebih lanjut apabila kemungkinan penerapan pasal perintangan penyidikan itu sudah dibahas dalam forum gelar perkara, di mana keputusan terhadap suatu perkara diambil.
Menurutnya, penyidik KPK masih mendalami peluang untuk mulai mengusut dugaan obstruction of justice tersebut.
Baca Juga
"Ada dugaan ke sana. Sampai di mananya itu saya sendiri belum tahu, karena yang memahaminya adalah penyidiknya," katanya.
Belum lama ini, KPK melanjutkan penyidikan perkara kasus suap penetapan anggota DPR itu dengan memeriksa sejumlah saksi. Utamanya, berkaitan dengan keberadaan Harun yang sudah sekitar empat tahun buron.
Informasi soal keberadaan Harun didalami dari pemeriksaan terhadap Melita De Grave (mahasiswa) pada 31 Mei 2024, serta Simon Petrus (pengacara) dan Hugo Ganda (pelajar/mahasiswa) yang masing-masing diperiksa pada 29 dan 30 Mei 2024.
Kasus itu berbuntut panjang ketika KPK memeriksa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pada 10 Juni 2024. Pasalnya, ponsel dan buku catatan berisi informasi kepartaian yang dipegangnya turut disita KPK. Ponsel dan ATM milik staf Hasto, Kusnadi, juga ikut diambil oleh penyidik.
Upaya paksa penyidik yang dipimpin oleh AKBP Rossa Purbo Bekti itu berbuntut sederet pelaporan yang dilakukan kubu PDIP. Mulai dari laporan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Komnas HAM hingga digugat secara perdata di PN Jakarta Selatan.
Pada keterangan sebelumnya, pihak KPK sudah menyampaikan bakal mendalami apabila sederet upaya pelaporan maupun gugatan dari kubu PDIP itu masuk ke perintangan penyidikan.
"Itu akan didalami kalau seandainya memang ada alat bukti perintangan tersebut tentunya akan ditindaklanjuti," ujar Tessa dalam keterangan terpisah.
Adapun tim hukum Hasto dan Kusnadi, Ronny Talapessy mengatakan pihaknya menggugat KPK sekaligus AKBP Rossa serta kawan-kawannya melawan hukum karena merampas buku catatan PDIP.
Berdasarkan petitum gugatan yang didaftarkan ke PN Jakarta Selatan, penyitaan buku PDIP dinilai tidak ada kaitannya dengan kasus Harun Masiku.
"Sekali lagi perlu saya garisbawahi di sini bahwa buku partai, apapun handphone yang dirampas itu tidak ada kaitannya dengan Harun Masiku," kata Ronny di PN Jakarta Selatan, Senin (1/7/2024).